Ilmu budaya Dasar
Potong Gigi
sebagai Peralihan
dari Masa Remaja
ke Dewasa.
Disusun oleh :
Nama: Ngakan Nyoman G
NPM : 27214903
Kelas : 1EB42
NPM : 27214903
Kelas : 1EB42
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Bali adalah sebuah Pulau di Indonesia yang terletak di antara Pulau Jawa dan
Pulau Lombok dengan Ibukota Provinsinya ialah Denpasar. Mayoritas penduduk Bali
adalah pemeluk agama Hindu. Di
dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil
seni-budayanya. Budaya – budaya di bali ada banyak dan ber ragam muai dari
tarian , alat musiknya dan kegiatannya. Salah satu kebudayaan yang menonjol
adalah Budaya Potong gigi. Potong gigi termasuk kategori yadnya, Yadnya adalah Yadnya adalah suatu karya
suci yang dilaksanakan dengan ikhlas karena getaran jiwa/ rohani dalam
kehidupan ini berdasarkan dharma, sesuai ajaran sastra suci Hindu yang ada
(Weda). (diambil dari : http://www.babadbali.com/canangsari/pa-yadnya.htm ) Dengan demikian jelaslah bahwa yadnya mempunyai arti
sebagai suatu perbuatan suci yang didasarkan atas cinta kasih, pengabdian yang
tulus iklas dengan tanpa pamerih. karena kita sadar bahwa Tuhan menciptakan
alam ini dengan segala isinya pula. Penciptaan Tuhan ini didasarkan atas korban
suci-Nya, cinta dan kasih-Nya sehingga alam semesta dengan segala isinya ini
termasuk manusia dan mahluk-mahluk hidup lainnya menjadi ada, dapat hidup dan
berkembang dengan baik. Hyang Widhilah yang mengatur peredaran alam semesta
berserta segala isinya dengan hukum kodrat-Nya. Didalam Yadnya ada namanya
upacara Potong gigi, Upacara Potong gigi atau Metatah/Mepandes termasuk dalam kategori yadnya. sebenarnya yadnya
dibagi menjadi 5 yaitu Dewa Yadnya , Bhuta Yadnya, pitra yadnya, Rsi yadnya dan
manusa Yadnya. Potong gigi termasuk ke dalam kategori Manusa Yadnya karena
Manusa Yadnya adalah korban suci demi kesempurnaan hidup manusia, jadi manusia
setelah lahir dalam agama hindu harus melaksanakan namanya Manusa Yadnya untuk
mencapai kesempurnaan sperti selametan setelah lahir , potong gigi (yang akan
dibahas) hingga ke perkawinan atau pawiwahan, tetapi
yang dibahas disini
adalah potong gigi karena menurut penulis potong gigi atau metatah adalah suatu
upacara keagamaan yang unik didalam agama hindu maka dari itu penulis akan
membahas dari pengertian hingga makna yang terkandung dalam upacara adat
tersebut, yang akan di bahas
selanjutnya .
PEMBAHASAN
Apa itu manusa yadnya ?
Manusa Yadnya adalah korban suci bertujuan untuk memelihara hidup
dan membersihkan lahir bathin manusia Pembersihan lahir bathin manusia sangat
perlu di lakukan selama hidupnya, karena kebersihan itu dapat menimbulkan adanya kesucian.
Dengan kebersihan tersebut, manusia akan dapat berpikir, berkata dan berbuat
yang benar sehingga dapat meningkatkan dirinya ke taraf hidup yang lebih
sempurna.(dikutip dari
link : http://www.hindubatam.com/upacara/manusa-yadnya.html dengan sedikit pengubahan)
Pelaksanaan Upacara
Yadnya berpedoman pada ajaran agama dan merupakan warisan leluhur yang sudah mendarah daging dalam sendi sendi
kehidupan umat Hindu di Bali, dan masih terus jalankan sampai saat ini.
B.
Penjelasan Potong gigi / metatah
Potong gigi.
Potong gigi ? Metatah ? Apa itu ?
Metatah atau potong gigi mengandung falsafah
yaitu untuk menghilangkan sifat – sifat sadripu yang ada pada diri manusia sebelum lanjut ke Metatah
sebelumnya akan dijelaskan dulu apa itu sad ripu. Sad Ripu berasal dari kata sad yang berarti enam dan ripu yang berarti musuh. Jadi secara
harfiah Sad Ripu berarti enam musuh yang berada dalam diri manusia. Bagian
– bagian sad ripu yaitu
sbb :
1. Kama
Yang pertama adalah kama , kama ini berarti hawa
nafsu. Hawa nafsu disini
yang dapat menjerumuskan manusia ke arah yang buruk jika dilakukan secara
berlebihan. hendaknya manusia harus bisa mengekang hawa nafsu mereka menuju
kebaikan yang berguna untuk dirinya dan dunia ini.
2. Lobha
Yang kedua adalah Lobha berarti tamak atau rakus yang sifatnya negative
sehingga merugikan orang lain. Lobha yang sifatnya negative akan menyebabkan
seseorang terdorong untuk melakukan kejahatan karena merasa tidak pernah puas
dengan apa yang dimilikinya
3. Krodha
Yang ketiga adalah krodha, Krodha berarti kemarahan. Orang yang tidak
bisa mengendalikan amarahnya akan menyebabkan kerugian pada diri sendiri maupun
orang lain.
4. Moha
Yang keempat adalah moha , moha sendiri berarti kebingungan. Kebingungan
yang dapat menyebabkan pikiran menjadi gelap sehingga seseorang tidak dapat
berfikir secara jernih. Hal ini akan menyebabkan orang tersebut tidak mampu
membedakan mana yang baik dan buruk.
5. Mada
Yang kelima adalah mada. Mada berarti mabuk. Orang mabuk pikiran tidak
berfungsi secara baik. Akibatnya timbulah sifat – sifat angkuh, sombong,
takabur dan mengucapkan kata – kata yang menyakitkan hati orang lain.
6.
Matsarya
Yang terakhir adalah Matsarya berarti dengki atau iri hati. Hal ini akan
menyiksa diri sendiri dan dapat merugikan orang lain. Orang yang matsarya merasa
hidupnya susah, miskin, ya yang buruk-buruk intinya, sehingga ia akan menyiksa
batinnya sendiri. Selain itu bila iri terhadap kepunyaan orang lain maka akan
menimbulkan rasa ingin memusuhi, berniat jahat, melawan dan
bertengkar,menyakiti, sehingga merugikan orang lain.
Sebenarnya disamping yang sudah dijelaskan tadi
upacara potong gigi juga mengandung maksud suatu harapan pelunasan hutang orang
tua yang sangat mengasihi dan mencintai anak- anaknya (Dikutip dari Buku Manusa Yadnya, Seri IV Upakara Yadnya,
2004,Penerbit Paramitha Surabaya, Hal 69-70.Tentang Metatah/Potong gigi) Metatah / potong gigi sebenarnya dilakukan oleh remaja
perempuan maupun laki – laki yang belum menikah dan mulai beranjak dewasa. Metatah
boleh dilakukan ketika masih keaadan belum menikah / belum melakukan pawiwahan,
karna apabila sudah menikah tapi belum menikah berarti ia membawa gigi kotor,
yang dimaksud adalah perbuatannya jadi jangan sampai ketika menikah ia menjadi
tamak , lobha , kama ,mada, matsarya atau sejenisnya .
Dibali, acara metatah ini dikelompok kan menjadi beberapa
yaitu sbb :
1.
Memenuhi kewajiban orang tua, ibu-bapa, karena telah memperoleh
kesempatan untuk beryajna, menumbuh-kembangkan keperibadian seorang anak, sehingga
anak tersebut mencapai kedewasaan, mengetahui makna dan hakekat penjelmaan
sebagai umat manusia.
2.
Secara spiritual,
seseorang yang telah disucikan akan lebih mudah menghubungkan diri dengan Sang
Hyang Widhi, para dewata dan leluhur, kelak bila yang bersangkutan meninggal
dunia, Ātma yang bersangkutan akan bertemu dengan leluhurnya di alam Piṭṛa (Piṭṛaloka).
Berdasarkan keterangan dalam lontar
Pujakalapati dan juga Atmaprasangsa, maka
upacara Mapandes mengandung tujuan, sebagai berikut:
1.
Melenyapkan
kotoran dan cemar pada diri pribadi seorang anak yang menuju tingkat
kedewasaan. Kotoran dan cemar tersebut berupa sifat negatif yang digambarkan
sebagai sifat Bhuta, Kala, Pisaca, Raksasa dan Sadripu yang mempengarhui pribadi
manusia, di samping secara biologis telah terjadi perubahan karena berfungsi
hormon pendorong lebido
2.
Dengan
kesucian diri, seseorang dapat lebih mendekatkan dirinya dengan Tuhan Yang Maha
Esa, para dewata dan leluhur. Singkatnya seseorang akan dapat meningkatkan Sraddha dan Bhakti kepada Kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3.
Menghindarkan
diri dari kepapaan, berupa hukuman neraka dikemudian hari bila mampu
meningkatkan kesucian pribadi.
4.
Merupakan
kewajiban orang tua (ibu-bapa) yang telah mendapat kesempatan dan kepercayaan untuk
menumbuh-kembangkan kepribadian seorang anak.
Berdasarkan rangkaian upacara Mapandes yang
dilaksanakan, maka makna yang dikandung dari rangkaian upacara tersebut adalah sebagai berikut:
a. Magumi Padangan. Upacara ini disebut juga Masakapan Kapawon dan dilaksanakan di dapur, mengandung makna bahwa tugas pertama seseorang yang sudah dewasa dan siap berumah tangga adalah mengurus masalah dapur (logistik). Seseorang diminta bertanggung jawab untuk kelangsungan hidup keluarga di kemudian hari.
b. Ngekeb. Upacara ini dilakukan di meten atau di gedong, mengandung makna pelaksanaan Brata, yakni janji untuk mengendalikan diri dari berbagai dorongan dan godaan nafsu, terutama dorongan negatif yang disimboliskan dengan Sadripu.
c. Mabhyakala. Upacara ini dilakukan di halaman rumah, di depan meten atau gedong, mengandung makna membersihkan diri pribadi dari unsur-unsur Bhūtakāla, yakni sifat jahat yang muncul dari dalam maupun karena pengaruh dari luar (lingkungan pergaulan).
a. Magumi Padangan. Upacara ini disebut juga Masakapan Kapawon dan dilaksanakan di dapur, mengandung makna bahwa tugas pertama seseorang yang sudah dewasa dan siap berumah tangga adalah mengurus masalah dapur (logistik). Seseorang diminta bertanggung jawab untuk kelangsungan hidup keluarga di kemudian hari.
b. Ngekeb. Upacara ini dilakukan di meten atau di gedong, mengandung makna pelaksanaan Brata, yakni janji untuk mengendalikan diri dari berbagai dorongan dan godaan nafsu, terutama dorongan negatif yang disimboliskan dengan Sadripu.
c. Mabhyakala. Upacara ini dilakukan di halaman rumah, di depan meten atau gedong, mengandung makna membersihkan diri pribadi dari unsur-unsur Bhūtakāla, yakni sifat jahat yang muncul dari dalam maupun karena pengaruh dari luar (lingkungan pergaulan).
d. Persaksian dan persembahyangan ke Pamarajan. Upacara ini mengandung makna untuk:
a.
Memohon wara nugraha Hyang Guru dan leluhur (kawitan) bahwa
pada hari itu keluarga yang bersangkutan menyelenggarakan upacara potong gigi.
b.
bersujud kpd ibu-bapak, sebagai perwujudan dan kelanjutan
tradisi Veda, seorang anak wajib bersujud kepada orang tua nya karena orang tua juga
merupakan perwujudan dewata .
c.
Ngayab Caru Ayam Putih, simbolis sifat keraksasaan
dinetralkan dan berkembangnya sifat-sifat kedewataan.
d.
Ngrajah gigi, menulis gigi dengan aksara suci simbolis
sesungguhnya Hyang Widhilah yang membimbing kehidupan ini melalui ajaran suci
yang diturunkan-Nya, sehingga prilaku umat manusia menjadi suci, lahir dan
batin.
e.
Pemahatan taring, simbolis Sang Hyang Widhi Siva) yang telah
menganugrahkan kelancaran Kala.
e.
Upacara di tempat (bale) Mapandes. Setelah selesai upacāra di pamarajan,
maka remaja yang mengikuti upacāra Mapandes kembali ke gedong untuk selanjutnya
menuju tempat upacāra Mapandes dilaksanakan, adapun rangkaian dan makna upacāra
yang dikandung adalah sebagai berikut:
a)
upacara ini seperti simbolik Sang Hyang Siva memotong taring
putra-Nya, yakni Bhatara Menyembah dewa Surya untuk mempermaklumkan sekaligus
memohon persaksian-Nya.
b)
Menyembah Bhatara Smara dan Bhatari Ratih, agar senantiasa dimbimbing ke
jalan yang benar, sekaligus memohon benih yang terkandung dalam diri
masing-masing, jangan sampai ternoda hingga kehidupan berumah tangga melalui
perkawinan di kemudian hari.
c)
Memohon Tirtha kepada Bhatara Smara dan Bhatarì Ratih, sebagai simbol
telah mendapat restu dan perkenan-Nya.
d)
Ngayab Banten Pangawak Bale Gading, untuk memohon kekuatan
lahir dan batin, karena masa pubertas penuh dengan tantantangan hidup termasuk
dorongan nafsu yang jahat.
e)
Mepandes, yakni dilaksanakannya upacara panggur guna menyucikan diri pribadi
dari gangguan Sadripu.
f)
Menginjak banten paningkeb, mengandung makna selesainya upacara Mapendes, dengan Sadripu
dan Catur Sanak telah memperoleh penyucian.
g)
Menikmati Sirih, simbolis kehidupan baru telah dimulai dengan
bermacam kenikmatan hidup dan tantangan, dan Sang Hyang Siva beserta Panca Dewata senantiasa akan
melindunginya.
h)
Kembali ke tempat Ngekeb, mengandung makna kembali melakukan
tapa brata, menyucian diri, lahir dan batin.
i)
Mejaya-jaya, yakni mengikuti upacara yang dipimpin oleh
Pandita (Sulinggih) berupa pemercikkan Tìrtha, yang mengandung makna yang
bersangkutan telah dan senantiasa akan memperoleh kemenangan dalam menghadapi
godaan dan dorongan untuk berbuat jahat.
j)
Mapinton. Upacara ini mengandung makna mempermaklumkan
kehadapan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur, bahwa yang bersangkutan
telah melaksanakan upacara Mapandes dan senantiasa memohon bimbingan dan
perlindungan-Nya.
Sarana / Upacara Mepandes/Metatah / Potong gigi .
Dalam upacara potong gigi ini disiapkan sarana yang akan digunakan,
seperti berikut ini :
(dikutip dari Buku Panca Yadnya.
2008, Widya Dharma Denpasar, hal 73-74)
Ø
Sajen sorohan dan suci untuk persaksian kepada
sang hyang widhi wasa.
Ø
Sajen pabyakaonan , prayascita , panglukutan,
alat untuk memotong gigi nya beserta perlengkapannya semisal : cermin, alat
pengasah gigi , sebuah cincin permata dan tempat tidur yang sudah di hias
sebelumnya
Ø
Sajen peras daksina, ajuman dan canang sari ,
kelapa gading dan 1 buah bokor.
Ø
Alat pengganjal yang dibuat dari potongan kayu
dadap , tebu
Ø
Pengurip – urip yang terdiri dari kunir serta
canangan lengkap dengan isinya
Dalam
potong gigi/mepandes/metatah upacara ini dilaksanakan oleh pendeta/pinanditha
dan dibantu oleh praktisi langsung. Waktu pelaksanaanya pun harus bersamaan
dengan upacara meningkat dewasa , serta temapt pelaksanaannya potong
gigi/metatah/mepandes dilakukan dirumah dan di pemerajan.
Tata
cara pelaksanaan Potong Gigi/mepandes/Metatah
1.
Yang diupacarai terlebih dahulu mabhyakala dan
maprayascita.
2.
Setelah itu dilanjutkan dengan muspa ke hadapan
Siwa Raditya memohon kesaksian.
3.
Selanjutnya naik ke tempat upacara menghadap ke
hulu. Pelaksana upacara mengambil cincin yang dipakai ngerajah pada bagian-bagian
seperti: dahi, taring, gigi atas, gigi bawah, lidah, dada, pusar, paha barulah
diperciki tirtha pesangihan.
4.
Upacara dilanjutkan oieh sangging dengan
menyucikan peralatannya.
5.
Orang yang diupacari diberi pengganjal dari tebu
dan giginya mulai diasah, bila sudah dianggap cukup diberi pengurip-urip.
6.
Setelah diberi pengurip-urip dilanjutkan dengan
natab banten peras kernudian sembahyang ke hadapan Surya Chandra dan
Mejaya-jaya.
Urutan
Upacaranya yaitu sbb berikut :
1.
Setelah sulinggih ngarga tirta,mereresik dan
mapiuning di Sangah Surya,maka mereka yang akan mepandes dilukat dengan
padudusan madya,setelah itu mereka memuja Hyang raitya untuk memohon
keselamatan dalam melaksanakan upacara
2.
Potong rambut dan merajah dilaksanakan dengan
tujuan mensucikan diri serta menandai adanya peningkatan status sebagai manusia
yaitu meningalkan masa anak-anak ke masa remaja.
3.
Naik ke bale tempat mepandes dengan terlebih
dahulu menginjak caru sebagai lambing keharmonisan,mengetukkan linggis tiga
kali (Ang,Ung,Mang) sebagai symbol mohon kekuatan kepada Hyang Widhi dan ketiak
kiri menjepit caket sebagai symbol kebulatan tekad untuk mewaspadai sad ripu.
4.
Selama mepandes,air kumur dibuang di sebuah
nyuh gading afar tidak menimbulkan keletehan.
5.
Dilanjutkan dengan mebiakala sebagai sarana
penyucian serta menghilangkan mala untuk menyongsong kehidupan masa remaja.
6.
Mapedamel berasal dari kata “dama” yang
artinya bijaksana.Tujuan mapedamel setelah potong gigi adalah agar si anak
dalam kehidupan masa remaja dan seterusnya menjadi orang yang bijaksana,yaitu
tahap menghadapi suka duka kehidupan,selalu berpegang pada ajaran agama
Hindu,mempunyai pandangan luas,dan dapat menentukan sikap yang baik, karena
dapat memahami apa yang disebut dharma dan apa yang disebut adharma.Secara
simbolis ketika mepadamel,dilakukan sebagai berikut :
• Mengenakan kain putih,kampuh kuning,dan selempang samara ratih sebagai symbol restu dari Dewa Semara dan Dewi Ratih (berdasarkan lontar Semaradhana tersebut).
• Memakai benang pawitra berwarna tridatu (merah,putih,hitam) sebagai symbol pengikatan diri terhadap norma-norma agama.
• Mencicipi Sad rasa yaitu enam rasa berupa rasa pahit dan asam sebagai simbol agar tabah menghadapi peristiwa kehidupan yang kadang-kadang tidak menyenangkan, rasa pedas sebagai simbol agar tidak menjadi marah bila mengalamai atau mendengar hal yang menjengkelkan, rasa sepat sebagai symbol agar taat ada peraturan atau norma-norma yang berlaku, rasa asin sebagai simbol kebijaksanaan, selalu meningkatkan kualitas pengetahuan karena pembelajaran diri, dan rasa manis sebagai symbol kehidupan yang bahagia lahir bathin sesuai cita-cita akan diperoleh bilamana mampu menhadapi pahit getirnya kehidupan, berpandangan luas, disiplin, serta enantiasa waspada dengan adanya sad ripu dalam diri manusia.
• Mengenakan kain putih,kampuh kuning,dan selempang samara ratih sebagai symbol restu dari Dewa Semara dan Dewi Ratih (berdasarkan lontar Semaradhana tersebut).
• Memakai benang pawitra berwarna tridatu (merah,putih,hitam) sebagai symbol pengikatan diri terhadap norma-norma agama.
• Mencicipi Sad rasa yaitu enam rasa berupa rasa pahit dan asam sebagai simbol agar tabah menghadapi peristiwa kehidupan yang kadang-kadang tidak menyenangkan, rasa pedas sebagai simbol agar tidak menjadi marah bila mengalamai atau mendengar hal yang menjengkelkan, rasa sepat sebagai symbol agar taat ada peraturan atau norma-norma yang berlaku, rasa asin sebagai simbol kebijaksanaan, selalu meningkatkan kualitas pengetahuan karena pembelajaran diri, dan rasa manis sebagai symbol kehidupan yang bahagia lahir bathin sesuai cita-cita akan diperoleh bilamana mampu menhadapi pahit getirnya kehidupan, berpandangan luas, disiplin, serta enantiasa waspada dengan adanya sad ripu dalam diri manusia.
7.
Natab banten,tujuannya memohon anugerah Hyang
Widhi agar apa yang menjadi tujuan melaksanakan upacara dapat tercapai.
8.
Metapak,mengandung makna tanda bahwa kewajiban
orang tua terhadap anaknya dimulai sejak berada dalam kandungan ibu sampai
menajdi dewasa secara spiritual sudah selesai,makna lainnya adalah ucapan
terima kasih si anak kepada orang tuanya karena telah
memelihara
dengan baik,serta memohon maaf atas kesalahan-kesalahan anak terhadap orang
tua,juga mohon doa restu agar selamat dalam menempuh kehidupan di masa datang.
Kesimpulan
KESIMPULAN :
Dari serangkaian upacara diatas dapat kita pahami bahwa dalam diri setiap manusia sejak mereka dilahirkan sudah terdapat sifat yang tidak baik, bila tidak dikendalikan dapat mengakibatkan hal- hal yang tidak baik/diinginkan, juga bisa merugikan dan membahayakan bagi anak-anak yang akan beranjak dewasa kelak dikemudian hari. Dengan melakukan upacara Mepandes ini anak yang sudah dewasa diingatkan dan diajarkan untuk tidak terjerumus dalam perbuatan yang dilarang agama dan bisa menjadi manusia yang berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa.
Upacara potong gigi biasanya disatukan dengan upacara Ngeraja Sewala atau disebutkan pula sebagai upacara “menek kelih”, yaitu upacara syukuran karena si anak sudah menginjak
dewasa,meninggalkan masa anak-anak menuju ke masa dewasa.
Prosesi potong gigi ini memang membutuhkan biaya yang sangat mahal, karena prosesinya membutuhkan beberapa kelengkapan sesajen dan juga banyak keluarga yang hadir.Mahalnya biaya membuat orang Bali lebih memilih ritual Metatah ini dilakukan berkelompok untuk menghemat biaya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Putu surayin, Ida Ayu , Pengertian Potong gigi, Dikutip
dari Buku Manusa Yadnya, Seri IV Upakara Yadnya, 2004, Penerbit Paramitha Surabaya, Hal 69-70.Tentang Metatah/Potong gigi.
2. Sarana dan Upacara mepandes dikutip
dari: Buku Panca Yadnya. 2008, Widya Dharma
Denpasar, hal 73-74
3. Wiana, I Ketut, 2002. “Makna Upacara Yajña dalam Agama
Hindu”. Paramita Surabaya
4.
Diambil dari http://www.hindubatam.com/upacara/manusa-yadnya.html diakses tanggal 6 Desember 2014
5.
Pengertian Manusa yadnya
dikutip dari : http://www.hindubatam.com/upacara/manusa-yadnya.html , diakses tanggal 7 desember 2014, dengan
sedikit pengubahan.